Rabu, 04 Januari 2012

SALAH KAPRAH DALAM PEMAHAMAN TEORI AKUNTANSI


SALAH KAPRAH DALAM PEMAHAMAN TEORI AKUNTANSI
SALAH KAPRAH PENGGUNAAN JUDGEMENT & FILOSOFI DALAM PERUMUSAN TEORI
Jansen (1976) menyatakan bahwa riset dalam akuntansi saat itu tidak saintifk, karena fokusnya hanya pada riset yang bersifat normatif dan definisional. Dalam terminologi teori, dikatakannya bahwa akuntansi lebih bermakna sebagai sesuatu yang bersifat poposisi normatif. Dan dia juga berkata bahwa teori akuntansi hanya bersifat mengjawab pertanyaan tentang “apa yang seharusnya terjadi”. Dengan pengembangan positive accounting theory, akan lebih menjelaskan mengenai: “apa, mengapa akuntan mengerjakan sesuatu, apa pengaruhnya terhadap orang lain dan utilisasi sumberdaya. Tanpa ppositive theory, tidak ada satupun baik akademisi maupun praktisi yang bisa membuat langkah maju lebih signifikan untuk menghasilkan jawaban atas pertanyaan-poertanyaan normatif yang selama ini dipertanyakan.
Wattss (1977) juga mempunyai anggapan yang sama bahwa teori akuntansi saat ini tidak saintifik karena konsentrasinya hanya pada preskripsi dangat jarang yang membangun teori yang menjelaskan mengapa laporan keuangan bentuknya seperti itu. Watts & Zimmerman (1978) berargumen bahwa suatu positive accounting theory dari determinasi standard akuntansi perlu untuk dideterminasikan apabila preskripsi dari teori normatif layak. Pada tulisan berikutnya, Watts & Zimmerman (1979) menyatakan penghormatannya pada teori akuntansi normatif lebih dikarenakan untuk menghindari debat kusir. Esensinya sebenarnya mereka menganggap bahwa namanya juga teori normatif dan dianggap tradisional, ya tetap saja kurang layak untuk membangun teori.
Zimmerman (1979) juga mengatakan bahwa riset positif dibuat untuk mengembangkan teori yang bisa menjelaskan fenomena yang diobservasi.tulisan mereka pada tahun tersebut mendapatkan penghargaan dari AAA sebagai “top of heap”.
Pada dasarnya saat ini secara faktual peneliti akuntansi sangat terlatih metodologi risetnya, tetapi tidak secara metodologi keseluruhan. Mari kita kupas lebih lanjut sebenarnya metodologi secara keseluruhan itu yang seperti apa. Blaugh (1980) menyatakan bahwa metodologi sain adalah sesuatu yang secara rasional bisa menerima ataupun menolak hipotesis. Jadi metodologi menurut Blaugh bisa dikatakan bersifat normatif, atau tidak saintifik menurut Watts & Zimmerman. Hayek (1952) juga mengatakan bahwa sain secara keseluruhan bersifat normatif, karena lebih dikedepankan mengenai apa yang seharusnya dipikirkan bukan pada apa yang dipikirkan orang tentang dunia atau konsekuensinya.
Kuhn(1970) menyebut saintis normal bisa jadi rendah. Tetapi Friedman (1953) berargumen agar lebih saintis sebagaimana sain-sain lainya, saintis sosial harus lebih peduli terhadap metodologi yang digunakannya. Samuelson (1962) secara paradoks, pada garis besarnya juga menyatakan hal yang sama.
Berdasarkan ulasan diatas, maka dalam makalah ini akan diuji berbagai pertanyaan yang muncul dari metodologi pembangunan teori akuntansi berikut ini: (1) apa yang harus menjadi domain teori akuntansi (2) apa yang dimaksud dengan positive theory & normative theory, (3) dapatkan teori saintis digunakan untuk menjelaskan, memprediksi, dan mem-preskripsi, (4) bagaimana seharusnya teori saintis dinilai.
Domain teori akuntansi
Untuk memiliki sesuatu yang saintis menurut Caws (1972) yang pertama harus telah menentukan domain dan set dari fenomena kedalam domain, yang kedua telah memiliki organisasi teori yang mengorganisir input dan output dari fenomena didalam domain dan terminologi apa yang mendeskripsikan realita yang ada pada domain.
Jensen (1976) me-listing berbagai perbedaan dari pertanyaan riset normatif dan positif. Kalau normatif kebanyakan bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan, sedangkan kalau positif lebih banya bertanya tentang apa, mengapa dan bagaimana. Yang kedua, kalau normatif lebih banya mendeskripsikan entitas akuntansi (Kohler, 1975). Sebaliknya untuk positif lebih banyak mendeskripsikan dan menjelaskan perilaku akuntan.
Popper (1972) mengarisbawahi bahwa masalah pemahaman perilaku dari problem-solver lebih tinggi levelnya daripada masalah itu sendiri. Untuk mengklarifikasi hal-hal tersebut diatas Christenson mengajukan 3 cara untuk mengklasifikasikan permasalahan akuntansi. Berdasarkan permasalahan yang diajukan Jensen, pertanyaan pertamanya adalah sebenarnya masalah tersebut merupakan suatu masalah atau meta-masalah. (maksudnya kita hanya ingin menjelaskan masalah yang terjadi atau ingin mengupas sebenarnya apa yang ada dibalik masalah). Berikutnya, sebenarnya permasalahannya mau dipecahkan dengan preposisi atau proposal?. Lihat gambar 1, untuk baris sebelah kiri cara mengatasinya dengan proposal, sedangkan baris kanan cara menjawabnya dengan preposisi. Poposisi adalah pernyataan mengenai fakta-fakta, sedangkan proposal adalah pengajuan kebijakan. Sedangkan pertanyaan ketiga, mana yang lebih diinginkan, proposisi observasional atau proposisi teorotikal.
Lihat gambar taksonomi dari permasalahan akuntansi pada gambar 2. Pada kolom pertama sebelah kiri berisi level permasalahan, dimana primary mengenai obyek masalah, sedangkan meta mengenai orang yang terkait dengan masalah. Sel kedua dari kiri berhubungan dengan siapa saja yang terkait dengan pembuatan teori prediktif (proposisi) atas masalah. Sedangkan baris ketiga berisi pihak-pihak yang terkait dengan proposal.
manager akuntansi akan lebih mengutamakan transaksi yang seharusnya terjadi (baris pertama kolom 2). Yang dipermasalahkan oleh Rochester School mengenai hal tersebut sebenarnya merupakan meta-problem yang dijawab dengan proposal dan hipotesisnya teruji secara observasional, dan dilakukan oleh akuntan yang ahli metodologi (kolom paling kanan, baris paling bawah).
Berdasarkan gambar 2, penulis menyatakan bahwa: pertama, tidak ada darei satupun kubu tradisional maupun Rochester School yang secara langsung berhubungan dengan apa yang seharusnya disebut teori akuntansi. Kedua, penulis setuju bahwa seharusnya teori saintis harus berguna utk memprediksikan dan menjelaskan fenomena. Tetapi yang diajukan olah Rochester School lebih dekat kepada teori normatif yang bermetodologi.
Konsep dari teori positif
Garis darah dari konsep
Rochester School mengambarkan konsep teori positif dari mahagurunya di Chicago School of Economics, yaitu Milton Friedman. Padahal dalam ilmu ekonomi yang digelutinya, Friedman hampir tidak pernah menggunakan terminologi teori positif. Dia hanya menyatakan bahwa tujuan akhir dari sain positif adalah pengembangan teori ataupu hipotesis. Konsep sain positif marak berkembang pada abad 90 an. Orang-orang filosofis menyebutnya dengan “positivism” yang mana meyakini bahwa hanya metode sain natural yang menyediakan pengetahuan positif dari “what is”.
Passmore (1967) seorang ahli sain positif justru menyatakan bahwa logical positivism telah mati. Yang dimasud disini mati sebagai pergerakan filosofis sebagaimana yang pernah terjadi. Pada dasarnya, terminologi teori positif maupun sain positif keduanya sama-sama salah kaprah. Yang paling pas sebenarnya menurut penulis adalah sain empirikal.
Produk vs proses
sain empirik lebih bisa dipandang sebagai produk bukan proses (dalam terminologi Keynesian disebut a body of systematic knowledge). Popper (1959) menyatakan bahwa sain empirikal seharusnya bercirikan metode-nya; tentang apa yang bisa kita kerjakan dengan metode tersebut dan apa yang bisa kita lakukan pada metode tersebut, bukan sekedar struktur logikal atau formal dari pernyataannya. Popper (1972) disisi lain menyatakan bahwa langkah pertama untuk memahami suatu proses ya harus dengan menguji produknya. Kalau mau menguji produk aktual, pakai cara empiris. Kalau mau mencari produk ideal, pakai saja normatif.
Proposisi empirikal
Popper setuju bahwa positivis logikal berdasarkan pertimbangan sain empirikal, sebagai suatu body of knowledge menjadi sekumpulan atas proposisi-proposisi. Dia juga setuju mengenai tesis bahwa pengalaman itu sendiri bisa di.putuskananggap posisinya ada diatas kebenaran/falsify pernyataan saintifik. Dan dia juga setuju dengan pendapat Hume (1739) yang menyatakan bahwa pengalaman tidak akan pernah secara konklusif menghasilkan kebenaran suatu pernyataan.
Bentuk logikal dari proposisi observasional dan proposisi teorotikal
Sebagai contoh, bentuk logikal dari proposisi observasional: Ada kejadian pada event S pada daerah K. Secara logika observasional, daerah K bisa dianggap sebagai kejadian, walaupun secara observasional hanya ada satu event. Padahal berapa jumlah event S tidak ada batasannya, sedangkan berapa kejadian yang tidak ada batasan pastinya tersebut dianggap sebagai Universal. Ketika ada event bersama AB, bisa didefinisikan sebagai ada kejadian pada event SK. Pada bahasan diatas sebenarnya lebih menunjukkan bentuk logikal dari singular existential proposition.
Ketika ada event pelengkap A, maka bisa didefinisikan proposisinya sebagai “ada kejadian pada event SK”. Dalam hal ini SK tidak sama dengan SK. Dan apabila di-Falsify, “proposisinya bisa menjadi tidak ada kejadian pada event S”.
Proposisi terakhir ini bisa disebut dengan hukum, dan ini juga bisa disebut paradigma teoritikal. Jadi bisa disimpulkan bahwa bentuk logikal dari proposisi teoritikal atau hukum, adalah universal negative-existential proposition yang strik.
Untuk memperoleh teori empirikal atas suatu domain fenomena, berarti harus memiliki: (1) kumpulan logika atas kejadian yang mungkin ada, (2) satu atau lebih hukum empirikal.
Bentuk kondisional universal dari hukum
hukum empirikal seharusnya mempunyai bentuk eksistensial negatif dan bentuk alternatif yang ekuivalen secara logikal. Kedua-duanya harus ada.
Misalnya: Jika ada pernyataan bahwa semua manusia akan mati, juga bisa diekuivalenkan dengan tidak ada manusia yang tidak mati.
Prediksi, Penjelas, & alasan normatif
Rochester School menginginkan bahwa teori positif bisa memprediksi. Penulis dalam bahsan ini juga menunjukkan suatu logika terbalik bahwa teori negatif juga bisa memprediksi, menjelaskan dan memberikan alasan normatif-nya, yang tidak berbeda kualitas penyimpulannya dengan teori positif.
Alasan prediktif
Misalnya saja, ada event R pada jangka waktu region K . Pernyataan ini menafikkan bahwa ada kejadian R (bar) pada region tersebut. Kalau dikombinasikan dengan informasi yang ada pada gambar (4c), semua kejadian dikeluarkan dan yang ada hanya gabungan kejadian R dan S. Nah berarti kita bisa menderivasikan bahwa ada kejadian S pada jangka waktu K.
Alasan Penjelas
Dari perpektif logika yang lemah, kejadian tunggal seringkali diartikan sebagai cerminan dari prediksi. Padahal yang benar adalah ketika kita mendapatkan given kejadian observasional, kita harus mencari teori yang bisa menjelaskan kejadian tersebut dan berbagai pernyataan mengenai kondisi awal dimana kita bisa menderivasikan simpulan yang mendeskripsikan kejadian yang terobservasi tersebut.
Alasan Normatif
Dalam prediksi teknologi, bisa saja suatu teori belum bisa dibuktikan karena keterbatasan teknologi saat ini, bukan karena teorinya yang salah. Padahal kalau kita resapi lebih jauh, berdasarkan terminologi yang dipakai teori positif, maka prediksi teknologi termasuk dalam teori normatif. Yang menjadi pertanyaan adalah mana yang lebih bisa diuji kebenarannya.
Analisis dan sintesis
perlu diingat bahwa ada kesamaan formal yang sangat dekat antara alasan normatif dan alasan penjelas.
Pada alasan penjelas, kita menerima explicandum sebagai sesuatu yang benar karena adanya dukungan data observasional, sedangkan pada alasan normatif, explicandum dianggap benar karena adanya dukungan hukum bahwa fenomena tersebut secara hukum dibenarkan dan didukung oleh kondisi awal yang terkendali. Dalam geometry Yunani, perpektif alasan deduktif bisa digunakan sebagai bukti (proof), yang dikenal dengan nama metode sintetis, dimana sejumlah kondisi disintesakan untuk menghasilkan satu kesimpulan.
Aprraisal theory
Instrumentalism VS Realism
Mengacu pada sudut pandang metodologi, yang dinamakan Instrumentalism, penjelasan tak lain daripada prediksi (dan sebaliknya), kalau dianalogikan, maka teori tak lain daripada instrumen untuk memprediksi . Tetapi kebalikannya, teori itu sendiri tidak menjelaskan reality.
Positivism & instrumentalism keduanya sama sama setuju kalau hanya proposisi observasional yang bisa menjelaskan realita.
Realism, setuju dengan penrnyataan bahwa penjelasan adalah (secara logikal) prediksi dan sebaliknya.Jadi teori yang mampu menjelaskan bisa dipakai sebagai instrumen prediksi. Dalam hal ini Realism menekankan bahwa yang dimaksud dengan menjelaskan (explanatory) tidak hanya sekedar memprediksikan.
Dalam opini penulis menganggap bahwa instrumentalism merupakan filosofi yang salah kaprah karena mereka (para penganutnya) bingung menempatkan dan mengidentifikasi hukum empirikal. Mereka hanya mengandalkan inferen logikal yang dianggap berlaku secara universal, padahal aturan inferen yang ada hanyalah valid & tidak valid, sedangkan hukum empirikal yang ada hanyalah benar atau salah. Penulis dalam hal ini mengelompokkan para pengikut Friedman sebagai kaum instrumentalism.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar